UU
Koperasi Baru Dibatalkan, UU Lama Berlaku Kembali
Pembatalan
UU Perkoperasian No 17 tahun 2012 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat tanggapan
negatif dari berbagai tokoh dari DPR. Meski taati keputusan MK, kekecewaan yang
dirasakan para anggota DPR RI tersebut tidak kunjung reda.
Kalangan
DPR mengaku kecewa atas penilaian MK mengenai isi dari UU Perkoperasian baru
yang mana menyatakan bahwa UU tersebut
bernuansa korporasi. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga menilai UU
Perkoperasian yang belum lama berjalan itu telah menghilangkan asas
kekeluargaan dan gotong royong yang sebagaimana seharusnya menjadi ciri khas koperasi.
Anggota
komisi VI DPR Fraksi Partai Golkar Lili Asdjudiredja menyatakan rasa
kekecewaannya melalui berbagai argumen mengenai keanehan keputusan yang diambil
oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab hanya beberapa pasal yang dipermasalahkan namun
MK membatalkan Undang-undang tersebut secara keseluruhan.
“Kalau menurut saya, MK ini mungkin tidak menguasai
sepenuhnya soal koperasi, kemudian perwakilan dari kementerian koperasi
barangkali menjelaskannya kemungkinan kurang lengkap, sehingga kemudian juga
dari pihak DPR. Seharusnya komisi yang membidangi Koperasi juga dilibatkan
untuk memberikan penjelasan di sidang MK itu sehingga dengan demikian informasi
itu akan lebih lengkap. Jangan yang datang ke sana bukan orang yang tidak ikut
di dalam pembahasan, jadinya susah. Apalagi draft UU ini kan dari pemerintah.
Intinya dari Kementerian Koperasi kurang bisa memberikan penjelasan secara
tuntas. Akhirnya ya wajar saja MK memutuskan seperti itu,” jelasnya.
Sementara Erik mengatakan, sebagai warga negara yang baik
tentunya kami akan menerima dan berusaha untuk memahami pertimbangan MK itu.
Menurut politisi dari Partai Hanura itu pada saat pandangan akhir fraksi untuk
mengambil keputusan pengesahan UU Perkoperasian dalam rapat paripurna,
fraksinya tidak merasa puas atas pembahasan UU tersebut yang merupakan UU
inisiatif dari pemerintah.
Berlainan dengan pendapatnya yang mengatakan “seharusnya UU
Koperasi itu lebih menekankan kepada konsep kepemilikan dan integrasi usaha
yang dalam bahasa UUD 1945 adalah merupakan usaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan. sehingga tekanannya mestinya selain pada konsep kepemilikan juga
kepada sektor-sektor yang produktif.”, Draf UU yang diajukan pemerintah pada
saat itu menurutnya menunjukkan ketidaksiapan dan pemahaman yang kurang dari
pemerintah terhadap permasalahan yang mendasar dari koperasi secara
keseluruhan.
Meski begitu, politisi Partai Hanura tersebut merasa UU Nomor
17 tahun 2012 sebetulnya masih bisa dipakai, hanya perlu memperbaiki beberapa
pasal yang bermasalah. “Tapi kalau memang keputusan MK sudah seperti itu, maka
menjadi tugas DPR bersama-sama pemerintah untuk segera memproses kembali UU
Koperasi yang baru untuk menggantikan UU Koperasi yang lama,” katanya.
Dalam
UU Perkoperasian terbaru, pasal 50 ayat (1)
huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas
kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru
hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29
ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan
koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” kata
anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertifikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.
Karenanya, filosofi yang terdapat dalam UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”
Akibatnya, Mahkamah menyatakan bahwa koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas (PT). Dimana koperasi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi yang berfilosofi gotong royong. ”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.
Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertifikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.
Karenanya, filosofi yang terdapat dalam UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”
Akibatnya, Mahkamah menyatakan bahwa koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas (PT). Dimana koperasi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi yang berfilosofi gotong royong. ”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.
Diiringi
dengan pembatalan UU Perkoperasian terbaru, MK memutuskan untuk memberlakukan
kembali UU Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang
No. 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang
baru,” ujar Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor
28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).
Sumber
:
nice post, mkasih ya
ReplyDeletesama-sama
Delete