Saturday, October 17, 2015

Etika Governance

Pengertian Etika (Etimologi) berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin yaitu “Mos”, dan dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:  Susila, lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik,  Akhlak yang berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut, Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
Konsepsi etika, sebenarnya sudah lama diterima sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang pada peradaban manusia, sehingga dengan demikian pada dasarnya etika berkenaan dengan serangkaian upaya yang menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam tatanan kehidupan yang kolektif. Nilai- nilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah sekedar menjadi keyakinan pribadi bagi para anggotanya, akan tetapi juga menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai etika harus menjadi acuan dan pedoman bertindak yang membawa akibat dan pengaruh secara moral.
Etika Governance atau yang berarti Etika Pemerintahan merupakan nilai-nilai etik pemerintahan yang menjadi landasan moral bagi penyelenggara pemerintahan. Secara teoritis, terdapat hubungan antara filsafat dengan etika pemerintahan, dimana etika pemerintahan adalah bagian dari filsafat dan etika terbagi menjadi 2 bagian yaitu individual dan sosial. Etika pemerintahan lahir dari cabang sosial dimana di dalamnya terdapat etika pers, etika politik, etika pemerintahan, dst. (Sri Untari, 2010:88).
Etika pemerintahan tersebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara dalam selaku manusia sosial. Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika kepemerintahan adalah : 1) Penghormatan terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya. 2) Kejujuran (honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya. 3) Keadilan (justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain. 4) Fortitude, yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan dan nasib. 5) Temperance, yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri. 6) Nilai-nilai adama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar umat manusia harus bertindak secara profesional dan bekerja keras.
Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau kegiatan yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Karena itu perbuatan pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut prinsip kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moral sebagai dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi landasan etis bagi pejabat dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan.
Dalam etika pemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui penghayatan etis yang baik, seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan menjaga moralitas pemerintahan. Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi, akan senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan, yang tercermin dalam perilaku hidup sehari- hari.
Secara umum, tugas pokok pemerintahan mencakup 7 bidang pelayanan, akan tetapi dapat lebih difokuskan lagi menjadi 3 fungsi yang utama, yaitu : Pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan (development). Dipandang dari sudut etika, keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanahkan, haruslah dapat diukur dari ketiga fungsi utama tersebut. Pelayanan yang baik akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan yang setara akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan yang merata akan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Etika pemerintahan, seyogianya dikembangkan dalam upaya pencapaian misi tersebut, artinya setiap tindakan yang dinilai tidak sesuai dianggap tidak mendukung apalagi dirasakan dapat menghambat pencapaian misi dimaksud, seyogianya dianggap sebagai satu pelanggaran etik. Pegawai pemerintah yang malas masuk kantor, tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya, minimal dapat dinilai telah melanggar etika profesi pegawai negeri sipil. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan dengan merugikan kepentingan umum, pada hakikatnya telah melanggar etika pemerintahan.
Pemerintahan pada level manapun sangat urgent untuk memiliki pedoman tentang landasan etika bagi para aparatnya dalam rangka mengemban tiga fungsi pemerintahan. Pada saat yang sama, kewenangan yang melekat pada kekuasaan pemerintahan perlu disusun dan dibagi kedalam struktur-struktur yang mengikat secara kolektif, saling membatasi, saling mengawasi dan saling terkait satu sama lain sebagai satu mata rantai yang saling menguatkan. Selanjutnya secara simultan juga memperkuat kepribadian aparatur dan berupaya mengakomodasi kepribadian yang baik kedalam sistem yang baik, sehingga kecenderungan terjadinya abuse of power akan dapat ditekan sampai pada tingkat terendah.
Dalam pemahaman konteks tersebut, aparatur pemerintah seyogianya-menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi dengan kata lain, sudah bukan waktunya lagi, pemerintah dapat begitu saja mengambil hak milik orang lain tanpa kewenangan yang jelas dan disertai pemberian imbalan atau ganti rugi yang wajar. Singkatnya, setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah berdasarkan nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku.
Etika pemerintahan memiliki sifat-sifat sosial, antara lain:
1.      Bersifat praktis karena membicarakan tentang perilaku dari aparat pemerintahan dan warga negara yang menyangkut pelaksanaan atau praktik interaksi antara aparat negara dengan yang diperintah.
2.      Selalu memerlukan bantuan dari ilmu pengetahuan lain seperti ilmu politik, ilmu hukum,dan lain-lain.
Secara umum, fungsi etika pemerintahan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun, dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
2.      Sebagai acuan untuk menilai apakah keputusan dan/ atautindakan pejabat pemerintahan itu baik atau buruk, terpuji atau tercela.
Faktor penghambat etika pemerintahan berupa hambatan atau penyakit dalam pemerintahan yang sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal, antara lain:
1.      Akibat persepsi, perilaku dan gaya manajerial berupa: penyalahgunaan wewenang, menerima sogok, takut perubahan dan inovasi, sombong menghindari kritik, nepotisme, arogan, tidak adil, otoriter.
2.      Akibat pengetahuan dan keterampilan berupa: puas diri, tidak teliti, bertindak tanpa berpikir, tidak mau berkembang/belajar, pasif, kurang prakarsa/inisiatif, tidak produktif.
3.      Karena tindakan melanggar hukum berupa: markup, menerima suap, tidak jujur, korupsi, penipuan, kriminal, sabotase, dsb.
4.      Akibat perilaku berupa: kesewenangan, pemaksaan, konspirasi, diskriminasi, tidak sopan, kerja legalistik, dramatisasi, indisipliner, negatifisme, kepentingan sendiri, non profesional, pemborosan, dsb.
5.      Akibat situasi internal berupa: tujuan dan sasaran tidak efektif dan efisien, kewajiban sebagai beban, eksploitasi,/pemerasan, pengangguran terselubung, kondisi kerja yang tidak nyaman, tidak adanya kinerja, miss komunikasi dan informasi, dsb.
Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan bahwa etika berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari pelaksana-pelaksananya. Dalam rangka menegakkan suatu pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, maka etika pemerintahan juga harus memperhatikan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai hubungan yang sinergis antara negara, swasta dan masyarakat.
Karena itu etika pemerintahan harus diimplementasikan secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun peraturan daerah). Pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini didasarkan pada hakikat pemerintahan berdasarkan pandangan etika pemerintahan adalah penerapan suatu kewenangan yang berdaulat secara berkelanjutan berupa penataan, pengaturan, penertiban, pengamanan dan perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan, yaitu: 1) Menciptakan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa. 2) Menempatkan segala perkara pada tempatnya sesuai dengan kodrat, harkat, martabat manusia serta sesuai dengan fungsi, peran dan misi pemerintahan. 3) Terciptanya masyarakat demokratis. 4) Terciptanya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian.
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh aparatur pemerintahan daerah dalam setiap perbuatan hukumnya agar dapat diterima oleh masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Efektifitas. Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan. 2) Legitimasi. Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan lingkungannya. 3) Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum. 4) Legalitas. Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum yang jelas. 5) Moralitas. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi. 6) Efisiensi. Kehematan biaya dan produiktivitas wajib diusahan setinggi-tingginya. 7) Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89).
Permasalahan di dalam pemerintahan yang berhubungan dengan etika governance adalah KKN. KKN adalah adalah sebuah singkatan yang terdiri dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Adapun contoh kasus yang tejadi di dalam pemerintahan daerah, sebut saja kasus Ratu Atut terkait penyuapan penanganan sengketa pilkada Lebak.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan bahwa KPK telah menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak. Hal itu disampaikan Abraham dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2013). 
"Telah ditemukan lebih dari 2 alat bukti untuk tetapkan atau meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan. Dari bukti, KPK secara solid dan utuh memutuskan meningkatkan, menetapkan, Atut Chosiyah, Gubernur Banten, selaku tersangka dalam pemberian berkaitan dengan sengketa pilkada Kabupaten Lebak Banten," kata Abraham. 
Abraham mengungkapkan pada Kamis (12/12/2013) pekan lalu bahwa KPK telah melaksanakan ekspose secara luas antara pimpinan KPK, penyidik, dan satgas. "Dalam ekspose yang dilakukan tanggal 12 Desember, hari Kamis, telah disepakati dengan berbagai bentangan alat bukti dari penyidik dan satgas," katanya. 
Atut, kata Abraham, dijerat dengan Pasal 6 Ayat 1 Huruf a UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. "Kenapa juncto? Karena dalam kasus itu, tersangka Ratu Atut dinyatakan secara bersama-sama atau turut serta dengan tersangka yang sudah ditetapkan terlebih dulu, yaitu TCW (adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana) dalam kasus penyuapan Ketua MK Akil Mochtar," ujar Abraham. 

Analisis kasus

Seperti yang sudah dijelaskan di atas  mengenai faktor penghalang etika pemerintahan. Pada kasus Ratu Atut Chosiah ini mengandung beberapa faktor hambatan yang melanggar etika pemerintahan, seperti tindakan tidak jujur dan penyalahgunaan wewenang. Tentunya kedua perilaku tersebut bertolak belakang dengan peran Ratu Atut sebagai gubernur pemerintah daerah. Dimana seorang gubernur atau kepala daerah suatu provinsi memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD provinsi. Sayangnya pengertian ‘wewenang” disini disalah artikan, dimana wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas dipandang sebagai kekuasaan pribadi. Maka dari itu tindakan yang diperlukan adalah pembentukan etika, moral dan disiplin di kalangan pejabat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang atau pun pelanggaran etika pemerintahan lainnya yang sering terjadi pada pemerintahan masa kini.


DAFTAR PUSTAKA